*KISAH TENTANG PELABUHAN DAN KAPALNYA*
Sebuah pelabuhan berdiri seperti biasa di pagi itu, dengan dermaga yang kokoh dan air yang tenang. Lentera-lentera kuningnya masih berkedip pelan. Bau garam dan tali-tali basah menggantung di udara.
Sebuah kapal, yang selama bertahun-tahun bersandar di sana, perlahan melepaskan tambatannya. Suara mesinnya menderum, asap putih mengepul dari cerobongnya membubung ke langit.
Pelabuhan itu merasakan getaran terakhir di dermaganya saat kapal tersebut pergi. Sebuah getaran yang terasa seperti jantung yang berdetak lebih pelan. Ia sedih karena merasa ditinggalkan.
Namun ia sekaligus bangga karena kapal itu pergi dengan gagah, layarnya terkembang penuh, siap menaklukkan ombak yang lebih besar dari yang pernah ia hadapi di pelabuhan ini. Bangga karena pelabuhan tahu, kepergian ini adalah bukti bahwa ia telah melakukan tugasnya dengan baik.
Perasaan yang sama mungkin sedang dialami para orang tua, yang anaknya kini beranjak remaja. Rasa ketika hati ini menyadari bahwa anak kita yang dulu selalu menempel, bercerita tentang segala hal, dan memandang kita sebagai pusat dunianya, kini mulai menjauh.
Ingatkah dulu, saat ia berusia lima tahun, bagaimana matanya selalu berbinar saat menceritakan hal-hal baru yang ia temui. Sekarang? Ketika kita bertanya tentang sekolahnya hari ini, jawabannya hanya singkat, "Biasa aja."
Bagaimana hari ini kita hanya bisa berdiri di depan kamarnya yang tertutup rapat. Padahal dulu, pintu itu selalu terbuka lebar, dan kita bisa masuk kapan saja untuk mendongeng atau menemaninya tidur.
Kita ingin memeluknya seperti dulu, tapi takut ia merasa risih. Kita ingin menanyakan kabarnya, tapi khawatir dianggap mengganggu. Jadi kini hanya memandanginya dari jauh, menyimpan semua kata sayang yang tak lagi bisa diucapkan dengan mudah.
Tenang, semua ini adalah proses yang wajar. Remaja sedang membentuk identitas diri. Mereka mulai mencari otonomi, dan menjauh dari ketergantungan masa anak-anak. Ini alamiah dan perlu sebagai bagian dari tumbuh dewasa.
Justru kita sebagai orang tua sering keliru menilai ini sebagai “menjauh” padahal yang terjadi adalah pencarian batas diri. Sebetulnya kurang tepat jika disebut "kehilangan". Ini lebih tentang cinta yang berubah bentuknya saja.
Dulu, cinta diekspresikan dengan menggenggam erat tangan mereka saat menyeberang jalan. Kini, cinta orang tua harus berubah bentuk.
Menjadi doa di keheningan malam, menjadi ruang yang lapang saat mereka butuh pulang, dan menjadi kepercayaan bahwa mereka bisa melewati hidup dengan bekal yang telah kita berikan.
Proses "melepas" anak adalah ujian kesabaran dan keikhlasan. Kita mendapat pelajaran bahwa cinta sejati bukanlah mengekang, tetapi memberi kebebasan dengan tanggung jawab.
Percayalah proses ini bagus untuk mereka. Dengan jarak psikologis ini, mereka belajar mengambil keputusan sendiri, menghadapi konsekuensi, dan tumbuh sebagai pribadi yang matang.
Jadi, biarkan kapal itu berlayar. Biarkan ia menjelajah samudera yang jauh, mengarungi gelombang yang tak pernah kita kenal. Pelabuhan akan tetap ada. Kokoh, setia, dan siap menyambutnya pulang suatu hari nanti.
Sebab tugas terbesar cinta bukanlah menahan, melainkan melepas dengan keyakinan bahwa di mana pun mereka pergi, hati kita selalu menjadi tempat mereka berlabuh.
_Dari hati, untuk hari ini._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini, komentar spam akan masuk kotak spam