SUDUT PANDANG KEDUA DARI KISAH DUA NABI
*SUDUT PANDANG KEDUA DARI KISAH DUA NABI*
Kita sering mendengar kisah pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir, bahkan sudah tahu bagaimana hikmahnya. Bahwa Nabi Musa yang tidak bisa menahan diri untuk bertanya, mengajarkan pentingnya kesabaran.
Tapi pernahkah kita mendengar sudut pandang lain dari kisah tersebut? Mari namakan saja ini sudut pandang kedua, yang ditulis oleh Al-Imam Ibnu Hajar dalam kitab _Fathul Bari_ ketika menguraikan hadist tentang hal itu;
"Kegagalan Nabi Musa memenuhi syarat Khidir menunjukkan bahaya komunikasi satu arah dalam pengajaran. Seorang murid perlu diberi ruang penjelasan."
Menurut beliau, kisah ini mengajarkan bahwa saat mengajarkan sesuatu, kita harus memberikan penjelasan yang jelas. Tanpa itu, kebingungan atau bahkan protes bisa muncul.
Pelajaran ini sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam rumah tangga, di mana komunikasi sering menjadi akar masalah kecil.
Bayangkan ada seorang suami yang tiba-tiba membeli sepatu baru padahal yang lama juga jarang dipakai. Ketika ditanyakan ia hanya menjawab singkat, "Nanti juga Bunda paham sendiri."
Atau seorang istri yang mengganti motif sofa di rumahnya dengan warna yang mencolok, ketika suaminya ingin mendengar alasannya ia justru bertahan, "Bunda yang lebih tahu kebutuhan rumah."
Ingatlah kita ini bukan Nabi Khidir yang penuh misteri. Urusan rumah tangga hendaknya dibicarakan terlebih dahulu, bukan dibikin teka-teki!
Sudut pandang berikutnya yang mungkin jarang kita dengar adalah perubahan sikap Nabi Musa. Mengapa beliau tidak bisa bersabar? Bukankah awalnya sangat sabar menempuh perjalanan untuk bertemu dengannya.
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰٓى اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا
_"Ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua laut atau aku akan berjalan bertahun-tahun.”_ (Surat Al-Kahfi: 60)
Al-Imam Fakhrudin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan fenomena ini, bahwa jiwanya Nabi Musa sudah terikat dengan syariat. Jadi saat melihat sesuatu yang bertentangan dengan jiwanya, ia tidak bisa sabar.
Berbeda dengan perjalanan yang ditempuh di awal, karena hanya membutuhkan ketahanan fisik saja. Dengan demikian ada dua jenis kesabaran dalam kisah ini, yaitu kesabaran fisik dan kesabaran batin. Boleh jadi keduanya berbeda kadarnya.
Pelajaran ini berlaku dalam kehidupan. Seorang istri mungkin kuat mengurus anak berjam-jam (kesabaran fisik), tetapi mudah tersinggung oleh kritik kecil (kesabaran batin).
Begitupun suami mungkin tabah bekerja lembur, tetapi cepat marah saat rencananya diubah tiba-tiba. Jika Nabi Musa saja memiliki tingkat kesabaran yang berbeda, apalagi kita sebagai manusia biasa? Karena itu, pasangan harus saling memahami dan tidak menguji kesabaran batin hanya karena melihat ketahanan fisik.
Mari buka ruang komunikasi dan pahami bahwa setiap orang memiliki batas kesabaran yang berbeda.
_Dari hati, untuk hari ini._
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini, komentar spam akan masuk kotak spam