ADA LAYAR YANG PERLU DITUTUP, UNTUK MEMBUAT LAYAR LAIN TERBUKA
*ADA LAYAR YANG PERLU DITUTUP, UNTUK MEMBUAT LAYAR LAIN TERBUKA*
Malam itu, lewat pukul sepuluh, jalanan sudah sepi. Saya berkeliling dengan motor, mencari ayam goreng krispi untuk sahur sekeluarga. Warung-warung telah tutup, hingga akhirnya saya melihat seorang ibu pedagang yang sedang menutup gerobaknya dengan kain terpal biru.
Sempat mengintip, ayam yang tersisa tinggal tiga potong. Terlalu sedikit untuk kami di rumah. Saya melaju melewatinya, tapi pikiran segera berubah, lebih baik kurang daripada tidak sama sekali.
Saya putar balik, dan ibu itu memandang dengan mata penuh harap.
“Ayamnya masih ada, Bu?”
“Tinggal tiga, Pak. Mau?”
Ayamnya kecil-kecil, membuat saya ragu sejenak. Tapi melihat wajahnya yang letih, saya tersenyum.
“Ya sudah, saya ambil semuanya.”
Ibu itu menghela napas, wajahnya berseri.
“Alhamdulillah.”
Kata itu sederhana, tapi mengena di hati. Ucapan spontan dari seseorang yang sudah pasrah pulang dengan dagangan tersisa. Hingga kini, itu adalah hamdalah paling berkesan yang pernah saya dengar.
Beberapa hari kemudian, kepekaan terhadap kebaikan kecil kembali menyapa. Usai shalat Jumat, saya melihat seorang kakek di pinggir masjid, usianya mungkin enam puluhan. Ia melepas baju koko dan sarungnya, melipatnya dengan rapi, lalu menyimpannya dalam tas kain yang diselipkan di kolong gerobak mainannya.
Kaos dan celana panjangnya memang terlihat usang, namun sebenarnya tetap sopan untuk shalat. Tapi kakek itu memilih menyiapkan pakaian khusus, hanya untuk bertemu Allah.
Ya Rabb, di saat orang-orang sibuk posting untuk cari perhatian followersnya, ternyata masih ada orang yang mencari perhatian-Mu. Tak ada kamera, tidak untuk konten, tapi sarung yang dilipat rapi itu seperti bercerita. Tentang adab kepada Pencipta.
Pagi lain, di deretan gerobak makanan depan sekolah, saya menyaksikan pemandangan yang tak kalah hangat. Ada penjual bubur, lontong sayur, dan cakwe. Seorang bapak penjual soto baru tiba, berusaha menempatkan gerobaknya di tanah yang tidak rata.
Ia tampak kesulitan, tapi tiba-tiba si penjual cakwe sigap menghampiri. Dengan cepat ia mengambil balok kayu dan meletakkannya di tanah cekung, agar permukaannya menjadi rata. Kebersamaan itu terasa istimewa, seperti sambutan hangat untuk seorang sahabat.
Bagi saya, balok kayu itu bukan sekadar penyangga, ia adalah lukisan hidup tentang gotong royong namun penuh makna. Tiga momen ini, seperti nada-nada lembut dalam orkestra kehidupan, mengingatkan saya betapa banyak kebaikan di sekitar kita.
Sayangnya, kita terlalu sibuk menatap layar ponsel, mengintip kehidupan orang lain, hingga lupa bahwa dunia nyata penuh cerita. Kita membandingkan diri dengan standar yang tak nyata, padahal di depan mata ada ibu yang bersyukur, kakek yang menjaga adab, dan pedagang yang saling membantu.
Cobalah lepas ponselnya dulu sejenak. Beri ruang untuk hati menikmati kehangatan yang telah alam siapkan. Lihatlah sekitar dengan mata terbuka. Insya Allah, ada banyak sekali keindahan yang menunggu untuk mengubah cara kita memandang dunia.
_Dari hati, untuk hari ini._
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini, komentar spam akan masuk kotak spam