*PELAJARAN DARI DZULHIJJAH (1)*
Sejak lahir, Nabi Ismail hidup berdua dengan ibunya saja di Mekkah. Karena ayahnya, yaitu Nabi Ibrahim, diperintahkan oleh Allah untuk kembali ke Syam berdakwah di sana.
Tersebut dalam kitab _Al-Bidayah wan Nihayah,_ memang Nabi Ibrahim secara berkala berkunjung ke Mekkah. Namun demikian durasinya tetaplah pendek.
Apabila hal ini terjadi di zaman sekarang, mungkin Nabi Ismail akan dimasukkan ke dalam kategori _inner child_ yang terluka (trauma masa kecil), atau bisa pula disebut _daddy issue._ Sebuah masa lalu yang kurang perhatian dari sosok ayah.
Namun lihatlah apa yang terjadi, Nabi Ismail tumbuh sebagai remaja yang matang dan penuh keimanan. Al-Quran menunjukkan kepribadiannya yang sempurna dari caranya berbicara.
قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
_Ia berkata, "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."_ (Surat As-Shaffat ayat 102)
Inilah salah satu hikmah yang sering terlewat untuk dikaji lebih dalam, bahwa Nabi Ismail tidak menjadikan luka masa lalu sebagai identitas. Dia tidak membiarkan pengalaman masa kecil membentuk cara pandangnya terhadap kehidupan.
Pendidikan ini tentu berasal dari ibunya, Siti Hajar, yang demikian sabar menanamkan kepadanya untuk percaya bahwa segala yang Allah tentukan untuk jalan hidupnya pasti yang terbaik.
Pada era sekarang, tak jarang kita menemui orang-orang yang karakternya kurang terpuji lalu menyalahkan masa lalunya.
"Saya seperti ini karena korban. Saya rusak karena ditinggal. Kesehatan mental saya sudah bermasalah sejak kecil."
Dan seterusnya perkataan yang menunjukkan kelas yang berbeda dengan apa yang dikatakan Nabi Ismail. Mengapa identitas diri kita harus ditentukan oleh masa lalu?
Alangkah bagusnya kisah Nabi Ismail ini sebagai contoh, bahwa apa yang sudah kita lewati tidak perlu dibahas berulang kali. Hari ini adalah hari yang baru. Hari di mana kita semakin mengerti bahwa semua yang Allah gariskan adalah yang paling indah.
Bulan Dzulhijjah waktu yang tepat untuk menjadikan kisah Nabi Ismail sebagai cermin ketahanan mental dan keteguhan iman. Di tengah gempuran media sosial yang sebentar-sebentar dikaitkan dengan "luka batin" atau "trauma masa kecil".
Mari kita belajar bahwa kedewasaan sikap kita tidak ditentukan oleh betapa sempurnanya masa lalu. Yang paling menentukan bukan apa yang telah terjadi, tetapi siapa kita hari ini dan bagaimana kita memilih untuk melangkah esok hari.
_Dari hati, untuk hari ini._
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda disini, komentar spam akan masuk kotak spam