PELAJARAN DARI DZULHIJJAH (3)



 *PELAJARAN DARI DZULHIJJAH (3)*


Ada sebuah detail kecil, namun bermakna besar, dalam kisah pengorbanan Nabi Ismail. Disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya, bahwa Nabi Ismail meminta kepada ayahnya untuk menutupi wajahnya dengan kain agar ayahnya tidak melihat wajah beliau yang mungkin berubah karena sakit.


Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari permintaan Nabi Ismail tersebut? Pertama, sifat mengutamakan orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Beliau masih memikirkan perasaan ayahnya, khawatir akan bersedih atau trauma jika melihat ekspresi wajahnya.


Sungguh luar biasa, dalam situasi paling berat sekalipun, Nabi Ismail masih mementingkan ayahnya.


Kedua, beliau ingin menjaga kehormatan dirinya. Jangan sampai orang lain melihat reaksi dari wajahnya saat menerima ujian tersebut. Khawatir ada raut wajah yang kurang baik dipandang mata, maka lebih baik wajahnya ditutup.


Duhai, detail kecil ini seolah melengkapi hikmah-hikmah lainnya yang sering kita dengar dalam kisah pengorbanan tersebut. Betapa sempurnanya akhlak Nabi Ismail yang masih belia itu.


Di balik permintaannya yang sederhana ini ternyata sedang mendidik kita tentang sifat empati, dan menjaga martabat.


Mungkin kita pernah dengar sahabiyah Ummu Sulaim yang menyembunyikan kesedihan saat kematian anaknya. Ia menyiapkan makan malam saat suaminya pulang lalu melayani dengan baik. Sehingga ia bisa menyampaikan berita bahwa buah hati mereka sudah dalam keadaan tenang.


Rasulullah memuji kesabaran beliau dan mendoakan keberkahan bagi mereka.


Saya pernah membaca biografi Kiai Hamid dari Pasuruan, beliau selalu terlihat sehat di mata muridnya tanpa pernah menunjukkan ekspresi kesakitan. Pada akhir umurnya, barulah dokter mengungkapkan beliau sedang menderita penyakit jantung kronis, disertai kondisi ginjal dan liver yang juga menurun.


Inilah contoh orang-orang saleh yang meneladani sikap empati dan menjaga kehormatan. Mereka tidak ingin membuat orang lain susah. Mereka juga tidak ingin terlihat lemah, apalagi mengeluh.


Memang orang biasa seperti kita belum tentu bisa mengikuti sepenuhnya akhlak tersebut, tetapi setidaknya kita bisa memulai dari hal yang terkecil.


Misalnya saat kita sedang sedih atau gagal,  tak perlu menunjukkan keterpurukan kepada orang lain secara berlebihan. Apalagi sampai pasang status. Bukan berarti pura-pura kuat, tapi ada harga diri dalam penderitaan yang perlu dijaga.  


Contoh lain, seorang ibu yang sedang tidak enak badan tetap berusaha tersenyum dan menyiapkan makanan untuk anak-anaknya tanpa mengeluhkan rasa sakitnya. Ia tidak ingin anak-anaknya khawatir atau merasa bersalah, sehingga memilih menjaga suasana rumah tetap hangat dan tenang.


Ketika seorang teman curhat tentang masalahnya, kita memilih untuk mendengarkan dengan penuh empati tanpa langsung menceritakan masalah pribadi kita, meskipun kita juga sedang menghadapi kesulitan. Ini menunjukkan kita mengutamakan perasaan orang lain dan tidak ingin membebani mereka.


Dan masih banyak lagi situasi di mana kita bisa mencoba bersikap empati dan menjaga kehormatan, dari hal yang terkecil sekalipun.


Kisah ini mengajarkan bahwa kemuliaan tidak selalu tampak dalam keberanian yang lantang, tetapi sering tersembunyi dalam ketenangan, keteguhan, dan perhatian yang halus kepada sesama.


Permintaan sederhana Nabi Ismail menyimpan pelajaran besar tentang menahan diri, menjaga martabat, dan mendahulukan orang lain. Di zaman ketika segala rasa ingin segera diumbar, sikap semacam ini adalah akhlak yang langka.


Sudah seharusnya kita mulai menanamkan kembali nilai-nilai ini dalam kehidupan kita, meski dimulai dari hal yang paling sederhana.


_Dari hati, untuk hari ini._

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BANK SOAL SAS SD KELAS 1 - 6 LENGKAP

Perangkat Ajar IKM SD kelas 1 s.d 6

Administrasi lengkap SD SMP SMA